Anekdot


 Apa Bedanya Korma dan Komar?
lDini hari, ketika nyenyak tidur, ponsel berdering nyaring. Ketika saya lihat, muncul nama Kang Rahmat, putra Ajengan Syatibi, guru saya di pesantren. Beberapa saat, saya tak berani mengangkatnya. Di sisi lain, muncul tanya, ada apa gerangan?

Antara aneh dan penasaran, saya angkat telepon itu dengan sedikit gemetar karena jarang sekali kontak-kontakan dengannya.

Assalamu ‘alaikum, bagaimana kabarnya?” tanya saya dengan merendahkan suara dan membuang kesan ngantuk.

Tapi dia tak menjawab salam dan kabar saya. Malah tanya balik.

“Apa bedanya korma dan Komar?”

Jantung saya hampir copot saat mendengar pertanyaan yang tak terduga tersebut. Seketika kantuk saya raib. Seumpama diguyur es. Seketika itu pula saya memeras otak untuk menjawabnya.

“Wah, tak tahu, Kang.”

“Serius tak tahu?”

“Iya.”

“Korma itu bijinya satu. Kalau Komar bijinya dua.”

“Tut..tut..tut..” suara telepon ditutup di seberang

Ketika Banser Nyanyi Tujuhbelasan
 
Seorang anggota Banser dipanggil oleh komandannya dan diperintahkan menyanyikan lagu nasional. Kang Banser maju dengan PD. Ia diam sejenak, mengingat-ingat lagu nasional yang dihapalnya.
Dipilihlah lagu berjudul “17 Agustus”. Dengan suara agak terputus-putus, karena grogi dan tak hafal, Kang Banser bernyanyi:
“Enam Belas Agustus tahun empat lima,"
"Besoknya hari kemerdekaan kita ….”

Spontan sang Komandan berteriak Stop!

Sang Komandan merasa ada yang janggal dengan lagu tersebut, kemudian mencoba menghingat-ingat sesuatu. Setelah itu ia tertawa terbahak-bahak.
“Oke! Oke! Tapi cukup! Silakan duduk lagi, Kang” perintah sang komandan.
Lagu itu tampaknya dimodifikasi oleh sang Banser secara mendadak karena ia grogi. Meskipun lirik lagunya menjadi berantakan, tetapi secara matematika tetap lumayan karena 16 + 1 = 17.



BERSEDEKAH KEPADA JIN
Lama gak bakar menyan ya Mbah, ana gak lagi mencium baunya kalo malam jum’at, sapa Kang Bangkak…

Oh, emang dah lama habis Kang, dn belum sempat beli, Kang Bangkak punya persediaan banyak ya?

Huuuh buat apa nyimpen barang Musyrik!!!! sungut Kang Bangkak..

Lhooo kok Musyrik Kang ???

Lha iya toooh, kan itu sama dg memuja Jin to?

Yg Muja Jin tuh siapa?……tanya MBah Lalar

Kan Asap menyan itu memang Kesukaan Jin? bantah Kang bangkak

Lalu apa salahnya saya bersedekah kepada Jin? hehehehehehe Mbah Lalar terkekeh……..

Kang Bangkak melet kethop kethop…………………………….

 

SARUNG....................
“Mengikuti kebiasaan kaum Muslimin itu penting!” kata Kiyai Maemoen Zubair, “Contohnya: sarung. Dari asal-usulnya, itu merupakan pakaian tradisional orang Birma yang Buddha. Tapi di Indonesia ini sekarang sudah jadi pakaiannya kiyai dan santri. Ya nggak usah tanya dalilnya. Masak mau pakai sarung saja nyari dalil dulu?”
Seorang Mahasiswa Universitas Al Azhar asal Indonesia berkeliaran di kota Thanta, Mesir, dengan tetap mempertahankan kebiasaannya memakai sarung –barangkali penghayatannya akan hal itu telah mencapai taraf “ideologis”. Maklum, dia itu murni makhluk pesantren yang tak pernah tersentuh pendidikan lainnya, hatta Sekolah Dasar. Ketika masuk sebuah pasar ia menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka bisik-bisik dan ketawa-tawa. Bahkan sekumpulan anak muda meledeknya,
“Belum junub sudah keluyuran ke pasar!” teriak mereka. Santri Kendil kita merasa risih juga, tapi tak paham maksud mereka dan tak perduli.
Baginya, sarung adalah jati diri. Ia pun cuek saja saat Juma’atan seisi masjid memandanginya dengan tatapan penuh keheranan. Sampai kemudian seorang profesor dosennya menghampiri, lalu memberi nasehat,
“Kamu kalau kemana-mana mbok ya pakai celana, jangan pakai sarung,” kata profesor, “Saya tahu, kalau di Indonesia itu adalah pakaian tholabul ‘ilmi-nya santri. Tapi kalau di sini, itu pakaian jima’!”
Berkumpul singa mengaum, berkumpul kambing mengembik.
Tapi, mengaum ataupun mengembik perlu mawas diri juga.
Kang Ustad Darkum pegang mata pelajaran Fiqih di Madrasah Diniyah sore. Tapi murid-murid kelas tiga menamai pelajarannya: nonton wayang.
Kenapa?
Pintu ruang kelas itu menghadap ke Barat, menentang matahari sore. Dan Kang Darkum tak pernah mengenakan apa-apa dibalik kain sarungnya


Mbah Wahab: Nggak Pakai Tawon!

Dalam sebuah perjalanan Yogya-Solo, bus yang ditumpangi KH Wahab Hasbullah berhenti di Klaten. Cuaca sangat panas, sehingga para penumpang merasakan suasana gerah.

Untung para penjual es segera datang. Mereka mengerumuni bus untuk menawarkan dagangannya. Es yang dijual sebetulnya bukan es seperti zaman sekarang, tapi hanya sejenis ‘cao’, sejenis minuman dari air sumur dengan diberi sirup pemanis dari gula Jawa.

Sirup-sirup itu selalu terbuka dan dikerumuni tawon-tawon. Maka tak jarang, beberapa tawon ikut masuk ke dalamnya.

Mbah Wahab yang sudah kehausan memesan segera ikut memesan es. Tanpa diteliti es tersebut langsung diminumnya.

Selang beberapa saat terasa ada yang aneh dalam lidahnya. Rupanya beberapa ekor tawon ikut masuk ke dalam mulutnya. Cepat-cepat dimuntahkannya, sambil kembali memesan pada penjual, “Malih nggih, mboten ngangge tawon!” (segelas lagi, nggak pakai tawon!)


WAKTU INSYAALLOH BERUBAH

Seorang sarjana luar negeri bolak-balik ngomel, dengan gusar, "NU ini belum berubah, dari saya PMII sampai anak saya mau PMII molor terus. Bagaimana mau maju?"

"Rapat di undangan jam dua WIB, tapi jam tiga baru seorang yang datang," keluh sarjana tadi.

"Biasa aja, Gus. Santai aja. NU sudah maju kok mesti rapatnya terlat terus," timpal Hakim, seorang sekretaris yang bikin undangan dan selalu datang di awal, dengan tenang.

"Kok bisa ya Sampeyan sabar menunggu rapat begini? Bertahun-tahun terlat, tapi masih sabar dan santai," tanya sarjana tadi dengan heran.

"Ya bisa, Gus, karena sudah paham. Kita maklumi sajalah. Kan jam dua begini ada yang baru datang ngajar, masih di jalan, ada yan baru istirahat karena cape baru datang dari sawah," Hakim kasih penjelasan.

Dikasih penjelasan, sarjana tadi malah protes,"Lha, terus apa maknanya di undangan dikasih jam Pukul: 14.00 WIB?"

"Lho, ternyata Sampeyan belum tahu ya, itu sangat bermakna. WIB itu keterangan: Waktu Insya Allah Berubah." Mendengar seloroh sang sekretaris, sarjana tadi mencoba tersenyum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar